1/11/2015

Said bin Zaid RA


SAID  BIN ZAID RA




Said bin Zaid adalah seorang yang hanif.


SAID bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi atau sering juga disebut sebagai Abul A’waar, lahir di kota Makkah 22 tahun sebelum Hijrah. Beliau termasuk sepuluh orang yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh Rasulullah SAW Beliau memeluk Islam di awal-awal dakwah Rasulullah Saw di kota Makkah. Saat orang-orang ramai menentang seruan Rasulullah SAW dan rumah Arqam bin Abil Arqam belum ditetapkan sebagai markas dakwah yang pertama, Said hadir dan mewarnai kehidupan Islam Makkah bersama istrinya, Fathimah.
Ada baiknya, sebelum kita mengenal lebih jauh siapa sosok sahabat mulia ini, terlebih dahulu kita melihat sekilas profil ayahnya, Zaid bin Amru bin Nufail. Seorang ayah yang membesarkan anaknya dengan keteladanan, hingga lahirlah darinya generasi seperti Said.


Ayah Yang Hanif


Semasa hidupnya, Zaid tidak suka dan tidak pernah mau mengikuti ajaran jahiliyah. Beliau, yang diberi gelar hanif (orang yang lurus agamanya), dikenang kebaikannya karena sering menyelamatkan bayi perempuan yang hendak dikubur hidup-hidup yang mana itu telah menjadi traidisi Arab jahiliah. Bila ada anak yang hendak dibunuh kala itu, Zaid akan mengambilnya sebagai anak angkat. Beliau juga tak pernah menyekutukan Allah, juga tak pernah menggunakan apa pun sebagai perantaranya dengan Allah.

Suatu kali, Zaid berdiri di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Mereka berdesak-desakan menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka. Pria, wanita dan anak-anak, semua mengenakan pakaian serba mewah dan bagus-bagus dengan perhiasan yang indah-indah. Haiwan-haiwan ternakan pun dipakaikan bermacam-macam perhiasan dan diarak orang-orang untuk disembelih di hadapan patung-patung sesembahan mereka.

Sambil menyandarkan badannya pada dinding Ka’bah, Zaid berucap, “Wahai kaum Qurasy! Haiwan itu diciptakan Allah. Dia-lah yang menurunkan hujan dari langit supaya haiwan-haiwan itu minum sepuas-puasnya. Dia-lah yang menumbuhkan rumput-rumput supaya haiwan-haiwan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian, kalian sembelih haiwan-haiwan itu tanpa menyebut nama Allah.SWT Sungguh bodoh dan sesatlah kalian.

Tersentak, Al-Khathab, ayah Umar bin Khathab, berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata Al-Khathab, “Kurang ajar kamu! Kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu, namun kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!” Kemudian, dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar dimusuhi. Akhirnya ia menyingkir dari Makkah ke bukit Hira.

Untuk menemui keluarganya di kota, Zaid terpaksa datang sembunyi-sembunyi. Pasalnya, beberapa pemuda Quraisy selalu mengawasinya. Di saat orang-orang leka, Zaid berkumpul bersama Waraqah bin Naufal. Abdullah bin Jahsy, Utsman bin Harits, dan Umaimah binti Abdul Muthallib, bibi Muhammad Saw. Mereka berbincang soal kepercayaan masyarakat Arab yang telah jauh melencong dari agama Ibrahim.

Lantaran hal itu, Zaid mengajak keempat orang itu untuk mencari dan mempelajari kembali agama yang lurus. Mereka lalu mulai menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal meyakini agama Nasrani. Abdullah bin Jahsy dan Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Sementara itu Zaid telah mempelajari agama Yahudi dan Nasrani, tapi masih juga tak puas, sampai akhirnya bertemu dengan seorang rahib yang memberi tahu bahwa Allah akan mengirimkan seorang Nabi dari kalangan bangsa Arab. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk kembali ke Mekah. Di tengah jalan beliau terbunuh oleh kawanan perampok sehingga tak sempat kembali ke Mekah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Zaid sempat berdoa, “Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku, Said, diharamkan pula daripadanya.”

Allah memperkenankan doa Zaid. Ketika Rasulullah mulai mengajak orang banyak untuk masuk Islam, Said segera memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang dalam mengimani kepada Allah dan membenarkan kerasulan Muhammad Saw. Tidak mengherankan kalau Said secepat itu menyambut seruan Nabi Muhammad. Said lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat. Said dididik oleh seorang ayah yang sepanjang hidupnya tak kenal menyerah mencari agama yang hak. Bahkan ia wafat pun ketika dalam misi pencarian kebenaran agama Ibrahim.

Tak Pernah Tidak Berperang


Said bin Zaid masuk Islam bersama istrinya Fathimah binti Al-Khathab sebelum usia 20 tahun. Istrinya adalah adik Umar bin Khathab (dikenal sebagai Ummu Jamil, tapi berbeda dengan Ummu Jamil istri Abu Lahab yang dilaknat dalam Quran). Di saat awal keislamannya, Said bin Zaid pernah diikat oleh Umar bin Al-Khathab (kala itu Umar belum masuk Islam) dan dipaksa melepaskan kepercayaan barunya itu. Bersama dengan istrinya, ia juga pernah dipukul oleh Umar. Namun, yang terjadi kemudian justeru sebaliknya. Berkat kesabaran Said dan Fathimah, hati Umar bin Khathab yang semula keras memusuhi Islam pun luluh di hadapan keduanya. Seorang laki-laki Quraisy yang paling berpengaruh, berbobot baik fisik maupun intelektualnya, itu merengkuh cahaya hidayah di rumah adiknya.
Said adalah seorang sahabat yang berkesempatan mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, kecuali pada perang Badar. Saat itu ia diperintahkan Rasulullah untuk berjaga di pantai Laut Merah bersama Thalhah dan mengintai rombongan kafilah dagang Quraisy yang tengah menempuh perjalanan pulang dari Syiria. Saat itu beliau berjumpa dengan rombongan Abu Sufyan. Ketika Said dan Thalhah kembali ke Madinah, ternyata Rasulullah beserta semua sahabat sudah lebih dulu bertolak ke Badar. Menyesal mereka tak dapat turut serta dalam perang Badar.

Prajurit Islam ini turut pula mengambil bagian bersama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan kekaisaran Rum. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin, ia selalu memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji. Ia menceritakan keadaan perang Yarmuk yang diikutinya.

Berkata Said, “Ketika terjadi perang Yarmuk, pasukan kami hanya berjumlah 24.000 orang, sedangkan tentara Rum berjumlah 120.000 orang. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi. Di muka sekali pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi dan paderi-paderi berderet membawa kayu salib sambil mengeraskan doa. Doa itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris di belakang mereka dengan suara mengguntur.

Tatkala tentara kaum muslimin melihat musuhnya seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul rasa takut di hati mereka. Abu Ubaidah bangkit mengobarkan semangat jihad. Abu Ubaidah menyerukan, ‘Wahai hamba-hamba Allah! menangkan agama Allah, pasti Allah akan menolong kamu dan memberikan kekuatan kepada kamu! … Tabahkan hati kalian, karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran, jalan mencapai keridaan Allah dan menolak kehinaan. Siapkan lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam, kecuali mengingat Allah dalam hati kalian masing-masing.’

Setelah itu, kaum muslimin mulai maju menghalau musuh. Dan tanpa terasa, perasaan takut yang tadinya mendominasi benak mereka, hilang seketika. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan besar bagi kaum muslim.


Sesudah itu Said bin Zaid turut berperang menaklukan Damsyiq (Damaskus). Setelah kaum muslimin memperlihatkan ketaatan dan kepatuhan, Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Said bin Zaid menjadi wali di sana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.

Sengketa Tanah


Di masa pemerintahan Bani Umayyah, Arwa binti Aus menuduh Said bin Zaid merampas tanahnya yang saling berbatasan. Tuduhan tersebut disebarkan kepada kaum muslimin. Kemudian ia mengadukan persoalan ini kepada Marwan bin Hakam, gubernur Madinah ketika itu.

Marwan mengirim beberapa petugas untuk mengklarifikasi kepada Said tentang tuduhan wanita tersebut. Kata Said, “Dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanahku), bagaimana mungkin aku akan menzaliminya, padahal aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walau hanya sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi di atas lehernya.’

Wahai Allah! Dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.”

Tidak berapa lama kemudian, banjir besar melanda Madinah. Maka terbukalah tanda batas tanah Said dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Said yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan antaranya selepas itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika ia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, iapun terjatuh ke dalam sumur.

Rupaya, kejadian ini menjadi kenangan tersendiri di kalangan penduduk Madinah. Sampai-sampai, sahabat Abdullah bin Umar mengatakan, “Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain, ‘Dibutakan Allah kamu seperti Arwa.’”

Sepenggal kisah sahabat Said ini mudah-mudahan mampu membuka mata hati kita untuk meneladani kebaikan-kebaikannya.*