JA’FAR BIN ABU THALIB
Jasmani
Maupun Perangainya Mirip Rasulullah
Ja’far
bin Abi Thalib dikenal
juga dengan julukan Jafar-e-Tayyar adalah
putera dari Abu Thalibpaman dari Nabi Muhammad, dan kakak
dari Khalifah ke-4 Ali bin Abi Thalib. Ja’far
dibesarkan oleh pamannya, Abbas bin ‘Abdul Muththalib, karena
ayahnya yang miskin dan harus menghidupi keluarga besar.
Jaafar
bin Abi Talib atau nama gelarannya, Jaafar At-Tayyar meninggal dunia
semasa mempertahankan pasukan Islam pada Perang Mu’tah. Jaafar
digelar At-Tayyar kerana Rasulullah saw dikhabarkan oleh Allah swt
bahawa Jaafar bin Abi Talib digantikan kedua-dua tangannya yang putus
dengan sayap di syurga. Jaafar bin Abi Talib adalah abang kepada Ali
bin Abi Talib.
Maqam Jaafar Abi Talib di Baqi - Madinah Al Munawwarh |
Beliau
adalah sepupu sekaligus sahabat Rasulullah yang mirip dengan
Rasulullah baik wujud tubuh, tingkah laku atau budi pekertinya.
Beliau diberi gelar “Bapak Si Miskin”, “Si Bersayap Dua di
Surga” atau Si Burung Surga”. Muhammad memanggil Ja’far, “Bapak
orang-orang Miskin“,
karena ia selalu menolong dan membantu orang miskin dengan semua uang
yang dimiliki. Ja’far sangat mencintai dan mengasihi fakir
miskin, memberi makan mereka dan mereka dekat dengannya, berdialog
dengan mereka dan merekapun merasa diajak berbicara olehnya, Abu
Hurairah pernah bercerita tentangnya : “Orang
yang paling baik dan mengasihi orang-orang miskin adalah Ja’far bin
Abi Thalib”.
Beliau juga berkata : “Tidak
ada seorangpun yang memakai sendal, mengendarai unta dan tidur diatas
debu setelah Rasulullah SAW yang lebih baik selain Ja’far bin Abi
Thalib”.
Ja’far
bin Abi Thalib termasuk golongan awal memeluk Islam, sewaktu
kecil dia dalam pengasuhan pamannya yaitu Al-Abbas,
begitu juga saudaranya Ali bin Abi Thalib berada dalam
pengasuhan Nabi Muhammad, Ja’far bin Abi Thalib menikah dengan
Asma binti Umais.
Di
Habsyi (Ethiopia)
Sewaktu
Rasulullah memilih sahabat-sahabatnya yang akan hijrah ke Habsyi
(Ethiopia), maka tanpa berfikir panjang Ja’far bersama istrinya
tampil mengemukakan diri hingga tinggal di sana selama beberapa
tahun. Di sana mereka dikaruniai Allah tiga orang anak yaitu:
Muhammad, Abdullah, dan ‘Auf. kemudian melalui dia raja negeri
Habasyah, An-Najasyi yaitu Ashhamad bin Al-Abjar masuk Islam setelah
menerima surat dari Nabi Muhammad yang dikirim melalui Amr bin
Ummayyah Adh-Dhamary.
Selama
di Ethiopia, maka Ja’far bin Abi Thalib lah yang tampil menjadi
juru bicara yang lancar dan sopan. Allah mengaruniakan kepadanya hati
yang tenang, akal fikiran yang cerdas, jiwa yang mampu membaca
situasi dan kondisi serta lidah yang fasih.
Hal itu terbukti ketika berdialog dengan Negus, Raja Ethiopia pada saat kaum muslimin hijrah kesana. Kaum Quraisy tidak senang dan merasa cemas ketika kaum muslimin hijrah ke Ethiopia, khawatir kalau-kalau kaum muslimin di tempatnya yang baru menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak. Karena itulah para pemimin Quraisy mengirimkan dua utusannya yaitu Abdullah bin Rabi’ah dan Amar bin Ash (keduanya waktu itu belum masuk Islam) untuk menyampaikan harapan Quraisy agar Negus mengusir kaum muslimin yang hijrah dan menyerahkannya kepada mereka.
Hal itu terbukti ketika berdialog dengan Negus, Raja Ethiopia pada saat kaum muslimin hijrah kesana. Kaum Quraisy tidak senang dan merasa cemas ketika kaum muslimin hijrah ke Ethiopia, khawatir kalau-kalau kaum muslimin di tempatnya yang baru menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak. Karena itulah para pemimin Quraisy mengirimkan dua utusannya yaitu Abdullah bin Rabi’ah dan Amar bin Ash (keduanya waktu itu belum masuk Islam) untuk menyampaikan harapan Quraisy agar Negus mengusir kaum muslimin yang hijrah dan menyerahkannya kepada mereka.
Negus
merupakan seorang raja yang imannya kuat. Dalam lubuk hatinya, ia
menganut agama Nasrani secara murni dan padu, jauh dari penyelewengan
dan lepas dari fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya dan kisah
perjalanan hidupnya yang adil tersebar kemana-mana. Karena itulah
Rasulullah memilih negerinya menjadi tempat hijrah bagi
sahabat-sahabatnya dan karena itu pula kaum kafir Quraisy khawatir
kalau tipu muslihatnya menjadi gagal sehingga utusannya dibekali
sejumlah hadiah yang berharga untuk pembesar-pembesar dan pejabat
gereja di sana dengan tujuan agar para pendeta itu berpihak kepada
mereka. Kedua utusan itu terus-menerus membangkitkan dendam kebencian
di antara para pendeta terhadap kaum muslimin.
Pada
saat Negus, dihadapkan dengan utusan Quraisy dan kaum muhajirin
Islam, utusan Quraisy kembali mengulangi tuduhan terhadap kaum
muslimin bahwa kaum muslimin itu adalah orang-orang bodoh dan tolol
yang meninggalkan agama nenek moyang mereka tetapi tidak pula hendak
memasuki agamanya Negus dan bahkan datang dengan agama baru yang
mereka ada-adakan sehingga utusan itu meminta mereka dikembalikan
pada kaumnya. Negus pun bertanya kepada kaum muslimin, agama apakah
yang menyebabkan mereka meninggalkan bangsanya tetapi juga tidak
memandang perlu pula terhadap agamanya(Nasrani).
Ja’far pun bangkit berdiri untuk menunaikan tugas yang telah diamanahkan padanya oleh kawan-kawannya sesama Muhajirin yang mereka tetapkan dalam rapat yang diadakan sebelumnya. Dengan pandangan ramah penuh kecintaan kepada baginda raja yang telah baik menerima mereka, beliau berkata: “Wahai paduka yang mulia! Dahulu kami memang orang-orang jahil dan bodoh; kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturrahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berhampiran. Yang kuat waktu itu memakan yang lemah. Hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami dari kalangan kami. Kami kenal asal-usulnya kejujurannya, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. Ia mengajak kami untuk meng-esa-kan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya, dan agar membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu, berupa batu-batu dan berhala. Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menghubungkan silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpahkan darah yang dilarang Allah. Dilarangnya kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik. Lalu kami benarkan ia dan kami beriman kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak kami persekutukan sedikitpun juga, dan kami haramkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami. Karenanya kaum kami memusuhi kami dan menggoda kami dari agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami, , kami keluar hijrah ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan mereka.” Ja’far mengucapkan kata-kata yang mempesona itu laksana cahaya sehingga membangkitkan perasaan dan keharuan pada jiwa Negus. Ketika Negus menanyakan wahyu yang dibawa dari Rasulullah, Ja’far langsung membacakan bagian dari surat Maryam. Mendengarnya, Negus langsung menangis, begitu pula dengan para pendeta dan pembesar lainnya. Selanjutnya Negus mengatakan kepada kaum Quraisy bahwa sesungguhnya yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa as sama memancar dari satu pelita, karena itu utusan Quraisy dipersilahkan pergi dan beliau tidak akan menyerahkan kaum muslimin kepada mereka.
Tetapi
keesokan harinya kedua utusan itu kembali menghadap Raja Negus hendak
memojokkan kaum muslimin telah mengucapkan suatu ucapan keji yang
merendahkan kedudukan Isa sehingga hal itu cukup menggoncangkan Negus
dan para pengikutnya. Negus pun memanggil kaum muslimin kembali untuk
menanyai bagaimana sebenarnya pandangan Agama Islam tentang Isa
al-Masih. Ja’far pun bangkit sekali lagi dan berujar: ”Kami
akan mengatakan tentang Isa as, sesuai dengan keterangan yang dibawa
Nabi kami Muhammad SAW, bahwa: “Ia adalah seorang hamba Allah dan
Rasul-Nya serta kalimah-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh
dari pada-Nya…” Negus
bertepuk tangan tanda setuju seraya mengumumkan bahwa memang
begitulah yang dikatakan al-Masih tentang dirinya. Akhirnya Negus
mempersilahkan kaum muslimin itu untuk tinggal bebas di negerinya dan
akan melindungi mereka serta mengusir para utusan Quraisy dengan
mengembalikan hadiah-hadiahnya.
Kembali
ke Yastrib (Madinah)
Ja’far
bin Abi Thalib kembali pulang dari Habasyah sewaktu penaklukan
Khaibar dan ikut menuju Khaibar bersama dengan Abu Musa Al-Asyary.
Pada tahun ke 8 Hijriyyah, Di kala Rasulullah bersama Kaum Muslimin
sedang bersukaria dengan kemenangan atas jatuhnya Khaibar tiba-tiba
mucullah Ja’far bin Abi Thalib bersama sisa Muhajirin lainnya dari
Ethiopia. Tak terkatakan besarnya hati Nabi dan betapa bertambah
bahagia dan gembiranya ia karena kedatangan mereka. Dipeluknya Ja’far
bin Abi Thalib dengan mesra sambil berkata “Aku
tak tahu entah mana yg lebih menggembirakanku Apakah dibebaskannya
Khaibar atau kembalinya Ja’far bin Abi Thalib.” Dengan
berkendaraan Rasulullah pergi bersama sahabat-sahabatnya ke Mekah
untuk melaksanakan umrah qadla. Sekembalinya ke Madinah jiwa Ja’far
bin Abi Thalib bergelora dan dipenuhi keharuan setelah mendengar
berita dan cerita sekitar sahabat-sahabatnya kaum muslimin baik yang
gugur sebagai syuhada maupun yg masih hidup selaku pahlawan-pahlawan
yg berjasa dari perang Badar, perang Uhud, Khandak, dan
peperangan-peperangan lainnya. Kedua matanya basah berlinang
mengenang mukminin yg telah menepati janjinya dengan mengorbankan
nyawa karena Allah. “Kapankah
aku akan berbuat demikian?”pikirnya.
Hatinya terasa terbang merindukan surga ia pun menunggu-nunggu
kesempatan dan peluang yang berharga itu, berjuang sebagai syahid di
jalan Allah.
Peperangan
melawan Pasukan Romawi
Belum
begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan
hijriah Rasulullah SAW. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi
tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi
komandan pasukan. Rasulullah SAW. bersabda, “Jika
Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib.
Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah
bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur
pula, hendaklah kaum muslimin memilih pemimpin/komandan di antara
mereka. “
Setelah
pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah
Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan
mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih,
berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga
terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah
Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum
muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000
tentara. Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu
berhadap-hadapan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid
bin Haritsah gugur sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang
maju menyerbu ke tengah-tengah musuh. Melihat Zaid jatuh, Ja’far
segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu
dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan
musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera
komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi
sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke
tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan
memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh
dapat mengepung dan mengeroyoknya.
Ja’far
berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang
mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan
hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga
buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya.
Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak
gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan
kedua lengan yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian,
kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat
Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far
bin Abi Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah,
sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syuhada, menyusul kedua
sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.
Maqam Jaafar Abi Talib - Juga dirikan di Mazar, Jordan |
Rasulullah
SAW. sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan
tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far bin Abi Thalib anak pamannya.
Didapatinya Asma’, isteri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu
kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak,
memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.
Asma’
bercerita, “Ketika
Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut
sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang
terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi
salam dan menanyakan anak-anak kami.”
Beliau
berkata, “Mana
anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.” Maka
kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah SAW. Anak-anak
berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan
untuk bersalaman kepada beliau. Beliau menengkurapkan mukanya kepada
anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir
membasahi pipi mereka. Saya bertanya, “Ya Rasulullah, demi Allah,
mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua
sahabatnya?”
Beliau
menjawab, “Ya
…, mereka telah syahid hari ini.” Mendengar
jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak,
apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka
diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung
sedang bertengger di kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka
air matanya,“Wahai
Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya … wahai Allah, gantilah
Ja’far bagi isterinya.”“Aku melihat sungguh Ja’far berada di
surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di
kakinya.” Kemudian
kata beliau selanjutnya,
Demikianlah
Ja’far mempertaruhkan nyawa dalam menempuh suatu kematian agung
yang tiada taranya. Begitulah caranya ia menghadap Allah, berselimut
darah kepahlawanannya. Menurut Abdullah bin Umar, ketika mendapati
jasadnya, didapati luka-luka bekas tusukan pedang dan lemparan tombak
lebih dari 90 tempat di tubuh Ja’far. Dan Rasulullah bersabda
mengenai dirinya: “Aku
telah melihatnya di surga…., kedua bahunya yang penuh bekas-bekas
cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan…!”
PS: Maqam pada pengertian bangsa Arab, boleh diertikan sebangai kubur dimana jasad di kebumikdan juga Maqam, menandakan tempat itu pernah di duduki atau singgah sebentar kerana pengembaraan, musafir atau peperangan,jadi maqam Jaafar Abi Talib ini didirikan di Jordan kerana beliau gugur syahid di tempat ini ketika peperangan Mutah..walaubagaimana pun beliau di kuburkan di Baqi..