Abu Darda Radhiyallahu RA Sahabat Yang Zuhud Dan Taat Beribadah
Maqam Abu Darda Di Damsyik Syria |
Nama
beliau adalah Uwaimir bin Amir bin Mâlik bin Zaid bin Qais bin
Umayyah bin Amir bin Adi bin Ka`b bin Khazraj bin al-Harits bin
Khazraj. Ada yang berpendapat, namanya adalah Amir bin Mâlik,
sedangkan Uwaimir adalah julukannya. Ibunya bernama Mahabbah binti
Wâqid bin Amir bin Ithnâbah. Beliau termasuk Sahabat yang akhir
masuk Islam. Akan tetapi, beliau termasuk Sahabat yang bagus
keislamannya, seorang faqih, pandai dan bijaksana. Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakannya dengan Salman
al-Fârisi Radhiyallahu anhu . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Uwaimir adalah hakîmul ummah (seorang yang sangat
bijaksana).” Beliau Radhiyallahu anhu mengikuti berbagai peperangan
setelah perang Uhud. Adapun keikutsertaan beliau dalam perang Uhud
masih diperselisihkan. [Usudul ghâbah 5/97]
BELIAU
ADALAH SAHABAT YANG ZUHUD DAN RAJIN BERIBADAH
Abu
Juhaifah Wahb bin `Abdillâh Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman al-Fârisi
dan Abu Darda` Radhiyallahu anhuma.” Setelah itu Salmân
Radhiyallahu anhu mengunjungi Abu Darda` Radhiyallahu anhu. Dia
melihat Ummu Darda`Radhiyallahu anha memakai pakaian kerja dan tidak
mengenakan pakaian yang bagus. Salman Radhiyallahu anhu bertanya
kepadanya, “Wahai Ummu Darda`, kenapa engkau berpakaian seperti
itu?”
Ummu
Darda` Radhiyallahu anha menjawab, “Saudaramu Abu Darda`
Radhiyallahu anhu sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di
siang hari dia berpuasa dan di malam hari dia selalu shalat
malam.”
Lantas
datanglah Abu Darda` Radhiyallahu anhu dan menghidangkan makanan
kepadanya seraya berkata, “Makanlah (wahai saudaraku), sesungguhnya
aku sedang berpuasa”
Salman
Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku tidak akan makan hingga engkau
makan.” Lantas Abu Darda` Radhiyallahu anhu pun ikut
makan.
Tatkala
malam telah tiba, Abu Darda` Radhiyallahu anhu pergi untuk
mengerjakan shalat. Akan tetapi, Salman Radhiyallahu anhu menegurnya
dengan mengatakan, “tidurlah” dan dia pun tidur. Tak lama
kemudian dia bangun lagi dan hendak shalat, dan Salman Radhiyallahu
anhu berkata lagi kepadanya, “tidurlah.” (dia pun tidur
lagi-pen)
Ketika
malam sudah lewat Salman Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Darda`
Radhiyallahu anhu , “Wahai Abu Darda`, sekarang bangunlah”. Maka
keduanya pun mengerjakan shalat”
Setelah
selesai shalat, Salman Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Darda`
Radhiyallahu anhu, “ (Wahai Abu Darda`) sesungguhnya Rabbmu
mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu dan
keluargamu (istrimu) juga mempunyai hak atas dirimu. Maka,
tunaikanlah hak mereka.”
(selanjutnya)
Abu Darda` Radhiyallahu anhu mendatangi Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut
kepadanya.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Salman benar” [HR.
al-Bukhâri no. 1867., kitab Ash-Shahâbah hlm.462]
Dalam
riwayat lain yang lain, Abu Darda` Radhiyallahu anhu mengatakan,
“Tatkala Nabi diutus menjadi rasul, ketika itu aku adalah seorang
pedagang. Aku ingin menggabungkan ibadahku dan pekerjaanku, namun
keduanya tidak bisa bersatu. Kemudian aku pun meninggalkan
pekerjaanku dan memilih beribadah kepada Allah Azza wa Jalla . Demi
Allah Azza wa Jalla , alangkah senangnya seandainya aku memiliki toko
di jalan menuju pintu masjid hingga aku tidak meninggalkan shalat.
Aku bisa mendapatkan keuntungan empat puluh dinar dan bisa aku
sedekahkan semua di jalan Allah Azza wa Jalla .”
Seseorang
bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Darda` Radhiyallahu anhu ,
kenapa engkau membenci hal (harta) itu?”
Beliau
menjawab, “Aku takut (hisab yang dahsyat). Pada hari kiamat Allah
Azza wa Jalla akan menghisab hartaku ini dan bertanya kepadaku dua
hal :
Pertama
: Darimana harta itu diperoleh, dan
Kedua
: Kemana harta itu dibelanjakan. Harta yang halal ada hisabnya dan
harta yang haram ada siksanya.” [Ash-Shahâbah hlm. 461-463]
Dalam
riwayat lain Abu Darda` Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku senang
seandainya aku bisa berdagang di jalan dekat pintu masjid, setiap
harinya aku bisa memperoleh 300 dinar dan aku bisa mengerjakan shalat
lima waktu di masjid. Aku tidaklah mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla tidak menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Akan tetapi aku lebih senang menjadi orang yang tidak dilalaikan oleh
perdagangan dan jual beli dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla
.’” [Al-Hilyah 1/20 / Ash-Shahabah hlm. 463]
KISAH
BERPULANGNYA BELIAU RADHIYALLAHU ANHU MENGHADAP ALLAH AZZA WA
JALLA
Syumaith
bin Ajlân rahimahullah berkata, “Tatkala Abu Darda` Radhiyallahu
anhu hendak meninggal dunia, beliau merasa gelisah. Ummu darda`
Radhiyallahu anha berkata kepadanya, ‘(Wahai Abu Darda`), bukankah
engkau pernah memberitahuku bahwa engkau mencintai kematian?’ Abu
Darda` Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Demi Allah, benar’, akan
tetapi tatkala aku yakin akan meninggal dunia, aku menjadi benci
kepada kematian, kemudian Abu Darda` Radhiyallahu anhu menangis dan
mengatakan, ‘Sekarang adalah detik-detik akhir hidupku di dunia
ini. Bimbinglah aku mengucapkan lâ ilâha illallâh.’ Akhirnya Abu
Darda` Radhiyallahu anhu senantiasa mengucapkan kalimat itu hingga
meninggal dunia.” Beliau wafat dua tahun sebelum pembunuhan Utsmân
bin Affân Radhiyallahu anhu . Ada yang mengatakan bahwa beliau wafat
setelah perang Siffin. Ada yang mengatakan tahun 23 atau 24 H. di
kota Dimasyq dan ada juga yang mengatakan tahun 38 atau 39. Akan
tetapi, yang masyhur dari kebanyakan para ahli ilmu adalah beliau
wafat pada masa kekhalifahan Utsmân Radhiyallahu anhu . [Usudul
Ghâbah 4/18-19, no. 4136]
DI
ANTARA PESAN-PESAN ABU DARDA RADHIYALLAHU ANHU
Beliau
mengatakan, “Seandainya kalian mengetahui apa yang akan kalian
lihat setelah kematian, pasti kalian tidak akan berselera untuk
makan, minum, dan berteduh di dalam rumah. Kalian akan keluar menuju
tempat-tempat yang tinggi dan memukul-mukul dada kalian serta
menangisi diri-sendiri. Sungguh, aku lebih senang menjadi sebatang
pohon yang dikunyah kemudian ditelan. [Az-Zuhd, Imam Ahmad/
Ash-Shahâbah hlm. 465]
Beliau
Radhiyallahu anhu mengatakan, “Siapa yang banyak mengingat
kematian, maka ia akan sedikit gembira dan jarang berbuat
hasad”
Beliau
berkata, “Ada 3 hal yang membuatku tertawa dan 3 hal yang membuatku
menagis. 3 hal yang membuatku tertawa yaitu :
Pertama
: Orang yang cita-citanya adalah duniawi, padahal kematian selau
mengintainya
Kedua:
Orang yang lalai dari kematian, padahal kematian tidak pernah lalai
kepadanya, dan
Ketiga:
Orang yang berlalu banyak tertawa, ia tidak tahu apakah Allah Azza wa
Jalla murka atau ridha kepadanya.
Adapun
3 hal yang membuatku menangis adalah, dahsyatnya kiamat, terputusnya
amal, dan keadaanku di hadapan Allah Azza wa Jalla , apakah akan
dimasukkan di surga atau neraka.”
Beliau
juga pernah berkata, “Wahai manusia, injakkan kakimu ke tanah.
Sesungguhnya sebentar lagi ia akan menjadi kuburmu. Wahai manusia,
sesungguhnya hidupmu hanya beberapa hari, tiap kali waktu berlalu,
berarti sebagian hidupmu telah pergi. Wahai manusia, engkau sekarang
ini selalu menghabiskan umurmu sejak lahir dari rahim ibumu. ”
Seorang penyair mengatakan:
نَسِيْرُ
إِلَى اْلآجَالِ مِنْ كُلِّ لَحْظَةٍ
وَأَيَّامُنَا تُطْوَى وَهُنَّ
مَرَاحِلُ
وَلَمْ
أَرَ مِثْلَ الْمَوْتِ حَقًّا كَأَنَّهُ
إِذَامَا تَخَطَّتْهُ اْلأَمَانِيَّ
بَاطِلُ
وَمَا
أَقْبَحَ التَّفْرِيْطَ فِيْ زَمَنِ
الصِّبَا فَكَيْفَ بِهِ وَالشَّيْبُ
لِلرَّأْسِ شَاعِلُ
تَرَحَّلْ
مِنَ الدُّنْيَا بِزَادٍ مِنَ التُّقَى
فَعُمْرُكَ أَيَّامٌ وَهُنَّ قَلاَ
ئِلُ
Kita
berjalan menuju ajal dalam setiap detiknya
Hari-hari
kita selalu berlalu, dan memiliki tahapan-tahapan
Aku
belum pernah melihat ada sesuatu yang lebih meyakinkan daripada
kematian
Bahagian Pintu Masuk Maqam Abu Darda |
Seolah-olah,
semua yang tidak dijangkau oleh angan-angan (kematian-pen), tidak
bisa diterima.
Alangkah
buruknya perbuatan kita (meninggalkan agama-pen) tatkala muda
Lantas,
bagaimana seseorang itu tetap meninggalkan agama, padahal ubannya
telah menyala
Berjalanlah
kamu di dunia ini dengan bekal takwa
Karena,
umurmu hanyalah beberapa hari, dan itu sangatlah sedikit
Demikian
sosok sahabat yang agung, mudah-mudahan bisa kita jadikan sebagai
suri teladan yang baik. Wallâhu a`lam
Referensi
1.
Kitab Ash-Shahabah,Dr, Shalih bin Thaha Abdul Wahid, Maktabah
Ghuraba
2.
Usudul Ghâbah fi Makrifati Shahabah, Izzudin bin Atsir Abil Hasan
Ali bin Muhammad al-Jaziri
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]